Fotografi belum ditemukan tahun 1700 dan foto-foto itu dari abad ke-20
- Artikel ini berusia lebih dari setahun.
- Diterbitkan pada hari Senin 15/07/2019 pukul 09:15
- Diperbarui pada hari Senin 15/07/2019 pukul 09:28
- Waktu baca 3 menit
- Oleh: AFP Indonesia
Hak Cipta © AFP 2017-2025. Segala jenis penggunaan konten secara komersial harus melalui langganan. Klik di sini untuk lebih lanjut.
Gambar-gambar tersebut telah berulang kali disebarkan di Facebook, seperti di unggahan ini, dan di Twitter, misalnya di cuitan tanggal 7 Juli 2019 ini yang telah dibagikan lebih dari 3.000 kali sebelum dihapus.
Cuitan berbahasa Indonesia itu berbunyi, “Foto para perempuan Indonesia berhijab sekitar tahun 1700, tersimpan rapi di Perpustakaan Leiden, Belanda, jauh sebelum kelahiran Kartini.”
“Kartini” merujuk kepada pahlawan nasional Raden Ajeng Kartini, yang lahir di tahun 1879 dan tidak berhijab. Seorang perintis pendidikan bagi kaum perempuan, Kartini adalah “simbol penting bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia dan para feminis Indonesia”, menurut Encyclopedia Britannica.
Di bawah ini adalah tangkapan layar dari unggahan di Twitter itu:
Gambar-gambar itu memang menunjukkan wanita-wanita Indonesia, namun bukan dari “sekitar tahun 1700”.
Heliografi -- proses fotografi paling pertama -- ditemukan sekitar tahun 1824 oleh Nicéphore Niépce.
Pencarian AFP secara manual dan dalam jaringan di arsip-arsip Belanda maupun Indonesia menemukan foto-foto tersebut diambil antara tahun 1900 dan 1956.
Foto pertama menunjukkan sebuah upacara perkawinan di Lampung, sekitar tahun 1900. Ia tersimpan di arsip Universitas Leiden di Belanda, bisa diakses di sini.
Judul foto, dalam bahasa Belanda, berbunyi, “Sebuah upacara perkawinan menurut adat Lampung Pepadon di distrik Lampung.”
Lampung Pepadon adalah sebuah komunitas adat di provinsi Lampung.
Foto kedua dan ketiga disimpan di arsip Nationaal Museum van Wereldculturen, museum etnografi di Belanda.
Foto kedua, yang menunjukkan beberapa perempuan, dibubuhi judul dalam bahasa Belanda yang berarti: “Foto grup perempuan Melayu dari Payakumbuh yang berdiri dan duduk”. Gambar itu diambil tahun 1900.
Foto ketiga di arsip yang sama berjudul: “Potret istri dan saudara perempuan Panglima Polem”. Foto itu juga dibubuhi keterangan dalam bahasa Belanda yang berarti: “Di bulan Mei dan Juni 1903, Korps Marsose menangkap ibu dari pemimpin perlawanan Aceh, Panglima Polim, beserta dua istrinya, seorang saudarinya dan beberapa anggota keluarga yang lain.”
Korps Marsose merujuk pada sebuah pasukan khusus yang dibentuk Belanda bulan April 1890 untuk melawan gerilyawan Aceh. Panglima Polim, atau Polem, adalah sebuah gelar kebangsawanan di era Kesultanan Aceh.
Foto keempat menunjukkan orang-orang di sebuah pasar di Pulau Sumbawa, sekarang bagian dari provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), tahun 1956. Gambar itu disimpan di sini, di arsip digital dari Universitas Wisconsin-Milwaukee, Amerika Serikat.
Adakah konten yang Anda ingin AFP periksa faktanya?
Hubungi kami