
Memakai masker tidak menyebabkan hipoksia
- Artikel ini berusia lebih dari setahun.
- Diterbitkan pada hari Selasa 16/06/2020 pukul 12:55
- Waktu baca 4 menit
- Oleh: Valentina DE MARVAL, AFP Chile, AFP Indonesia
Hak Cipta © AFP 2017-2025. Segala jenis penggunaan konten secara komersial harus melalui langganan. Klik di sini untuk lebih lanjut.
Salah satu unggahan dengan klaim menyesatkan itu muncul di Facebook di sini pada tanggal 15 Juni 2020.
Status unggahan itu berbunyi: “PENGGUNAAN MASKER UNTUK WAKTU LAMA DAPAT MENGAKIBATKAN HIPOKSIA.
“Menghirup udara yang dihembuskan berulang kali yang telah berubah menjadi karbon dioksida, menyebabkan kita menjadi pusing.
“Ini memabukkan pengguna, dan lebih banyak lagi ketika ia harus bergerak, dan melakukan pergerakan.
“Ini menyebabkan ketidaknyamanan, kehilangan refleks dan pikiran sadar.
“Ini menghasilkan kelelahan yang luar biasa.
“Selain itu, kekurangan oksigen menyebabkan pemecahan glukosa dan kenaikan asam laktat akan terancam punah.
“Beberapa orang mengendarai mobil mereka dengan masker , itu sangat berbahaya, karena, udara busuk dapat membuat pengemudi kehilangan kesadaran.
“Dianjurkan untuk menggunakannya hanya jika Anda dekat dengan seseorang di depan anda, penting diingat untuk mengangkatnya setiap 10 menit supaya aliran oksigen ke otak tetap sehat.
“Kontraproduktif bagi orang-orang yang melayani masyarakat selama 8 jam, karena mereka memabukkan diri mereka sendiri tanpa menyadarinya.
“Pastikan pencegahan tidak membawa Anda ke masalah lain ... mari gunakan masker secara baik.
“NB :
Hipoksia adalah kondisi kurangnya pasokan oksigen di sel dan jaringan tubuh untuk menjalankan fungsi normalnya.
“Tolong bantu sebarkan pesan ini bila anda anggap penting dan perlu...”
Berikut tangkapan layar unggahan menyesatkan itu:

Klaim yang sama juga dibagikan di Facebook di sini, di sini, di sini dan di sini.
Klaim serupa dalam bahasa Inggris juga dibagikan di Facebook di sini dan di sini; di Twitter di sini; dan dalam bahasa Spanyol di sini.
Akan tetapi, klaim itu salah.
Dr. Shelley Payne, direktur LaMontagne Center for Infectious Disease, di Universitas Texas di Austin, AS, mengatakan masker yang dipakai dengan benar memungkinkan aliran udara dan karbon dioksida tidak menumpuk.
“Masker yang dipasang dengan benar tidak akan menyebabkan hipoksia,” katanya kepada AFP via email.
Dr. John Criscione, profesor teknik biomedis di Universitas Texas A&M, mengatakan kepada AFP melalui email: “Jika seseorang mengalami hipoksia maka masker itu terlalu ketat atau mereka mungkin memiliki kondisi medis yang mendasarinya yang membuat mereka kurang mampu mengakomodasi pembatasan sederhana untuk bernafas.
“Orang itu mungkin memerlukan respirator dengan tekanan udara positif, alat yang jauh lebih kompleks dengan filter dan kompresor untuk memudahkan pernapasan.”
Claudio Mendez, profesor kebijakan kesehatan di Austral University of Chile, setuju bahwa selama bahan masker memungkinkan adanya aliran udara, memakainya tidak akan menyebabkan hipoksia.
Untuk masker yang dikenakan oleh petugas kesehatan, ia berkata: “Masker N95 tidak boleh dipakai selama lebih dari tujuh jam. Masker bedah dapat digunakan untuk waktu yang lebih singkat. Keduanya tidak menyebabkan hipoksia.”
Mengenai efek hipoksia pada tubuh manusia, ia menambahkan: “Hipoksia dapat menyebabkan pingsan, disorientasi, gangguan sistem koordinasi, dan perubahan ritme jantung. Ini sangat memengaruhi fisiologi normal manusia.”
Klaim di unggahan menyesatkan juga menegaskan bahwa mengenakan masker selama lebih dari delapan jam “kontraproduktif” bagi orang-orang di tempat umum karena “mereka memabukkan diri mereka sendiri tanpa menyadarinya.”
Menanggapi klaim ini, Mendez menegaskan kembali bahwa petugas kesehatan tidak boleh menggunakan masker selama lebih dari tujuh jam, tetapi karena alasan yang tidak terkait dengan hipoksia. “Masker tidak bertahan lebih dari tujuh jam karena sudah terlampau lama terpapar virus dan kehilangan efektivitasnya,” katanya.
Klaim di unggahan menyesatkan juga merekomendasikan untuk mengangkat masker setiap 10 menit supaya aliran oksigen ke otak tetap “sehat”.
Dalam konteks pandemi virus corona baru, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebenarnya merekomendasikan sebaliknya, yakni tidak menyentuh masker sama sekali.
“Jika Anda melakukannya, bersihkan tangan Anda dengan alkohol atau sabun dan air,” kata situs web WHO.
WHO tidak menyebut hipoksia sebagai efek samping potensial pemakaian masker.
Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) di AS juga tidak menyebutkan risiko semacam itu, meskipun di situs web-nya disebutkan masker tidak direkomendasikan untuk anak di bawah dua tahun atau siapa saja yang mengalami kesulitan bernapas, tidak sadarkan diri atau tidak berdaya.
Klaim serupa juga beredar di Afrika
Klaim yang mirip juga muncul di Afrika di sini, di sini dan di sini. Para ahli di sana juga membantah risiko hipoksia karena mengenakan masker terlalu lama.
“Anda hanya menghirup kembali karbon dioksida jika tidak ada pertukaran udara tetapi ini tidak terjadi saat mengenakan masker yang tepat. Udara masuk dan keluar dari masker dengan baik,” kata Rodney Adam, spesialis penyakit menular yang berbasis di Nairobi, kepada AFP.
Sementara itu, beberapa ahli telah memperingatkan bahwa anak-anak di bawah usia dua tahun tidak boleh memakai masker karena mereka mudah tersedak dan tidak dapat mengungkapkan kesulitan bernafas secara verbal.
Mark Nanyingi, ahli epidemiologi penyakit menular Kenya, juga memperingatkan bahwa orang yang menderita penyakit pernapasan kronis dapat memberikan tekanan yang tidak perlu pada paru-paru mereka saat mengenakan masker.
“Seseorang dengan penyakit paru obstruktif kronik dapat dengan mudah terkena hipoksia atau hiperkapnia saat mengenakan masker selama berjam-jam karena paru-paru mereka sudah di bawah tekanan dan dengan demikian mereka menempatkan diri mereka pada risiko yang lebih tinggi,” katanya kepada AFP. Ia menambahkan bahan masker harus memungkinkan adanya sirkulasi udara dan tidak ketat.
AFP Fact Check telah menerbitkan ratusan artikel periksa fakta yang berkaitan dengan virus corona jenis baru. Daftar lengkap artikel-artikel dalam bahasa Inggris bisa dibaca di sini dan dalam bahasa Indonesia di sini.
Adakah konten yang Anda ingin AFP periksa faktanya?
Hubungi kami