Tak ada hubungan antara vaksin dan kerusakan sel, kata pakar

  • Diterbitkan pada hari Jumat 25/08/2023 pukul 10:19
  • Diperbarui pada hari Jumat 25/08/2023 pukul 10:38
  • Waktu baca 4 menit
  • Oleh: AFP Indonesia
Para ilmuwan menyanggah klaim salah dari Komjen Pol Dharma Pongrekun, yang mengatakan bahwa imunisasi menyebabkan kerusakan sel dan beberapa penyakit seperti autisme. Vaksin tidak merusak sel tapi justru merangsang sistem imun tubuh untuk menangkal penyakit. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menyebut bahwa efek samping serius dan jangka panjang dari vaksin tergolong langka.

Video berisi pernyataan dari Dharma Pongrekun, analis di Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Lemdiklat) Polri, diunggah di Instagram pada tanggal 19 Juli 2023.

"Imunisasi itu berefek kepada kehancuran kerusakan sel dia sebagai sel atau DNA dari Allah yang fitrah," kata Dharma.

"Membuat mereka menjadi autis, membuat mereka jadi kena meningitis, polio, autoimun, dan sebagainya, yang menghasilkan karakter-karakter yang tidak spiritualis lagi."

"Ini yang ngomong Jenderal Bintang 3 loh," tulis keterangan video. "Ada yang berani bantah?"

Video itu sudah ditonton lebih dari 4,3 juta kali.

Image
Tangkapan layar dari unggahan misinformasi (25 Juli 2023)

Potongan video tadi berasal dari wawancara Dharma di sebuah siniar (podcast) pada tanggal 18 Juli 2023, beberapa hari setelah DPR dan pemerintah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi UU, yang mewajibkan pemerintah daerah dan pusat untuk mengimunisasi anak-anak (tautan arsip ini dan ini).

Potongan video yang dibagikan berasal dari menit ke 12:43 dari wawancara tersebut.

Dharma -- yang juga mantan wakil ketua Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) -- sebelumnya menyebar teori konspirasi tentang agenda elite global dan menulis buku "Indonesia di Bawah Rekayasa Kehidupan."

Video tersebut diunggah di akun Instagram "pureblood.forever", yang sepertinya merujuk pada gerakan "pure blood." Gerakan ini menyebarkan narasi anti-vaksin yang mengklaim bahwa menerima darah dari orang yang sudah divaksin Covid-19 bisa "mencemari" tubuh.

Video serupa juga menyebar di postingan Instagram ini dan postingan YouTube ini, di mana video itu telah ditonton lebih dari 482.000 kali.

'Tidak akan merusak sel'

Prof. Dr. dr. Hinky Hindra Irawan Satari, ahli infeksi penyakit anak sekaligus ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas KIPI), menyanggah klaim bahwa vaksin menyebabkan kerusakan sel (tautan arsip).

"Vaksin adalah bibit penyakit yang telah dilemahkan, jadi tidak akan merusak sel. Yang akan merusak sel tubuh manusia adalah bibit penyakit yang aktif," jelasnya kepada AFP.

Dia menyebut bahwa bibit penyakit yang telah dilemahkan ini akan merangsang sistem imun tubuh untuk menciptakan antibodi, yang kemudian membuat tubuh kita kebal dari penyakit tertentu.

Prof. dr. Amin Soebandrio, pakar mikrobiologi klinis di Universitas Indonesia, menyebut bahwa suatu vaksin harus menempuh tiga tahap untuk memastikan keamanan dan efikasinya (tautan arsip).

Dalam beberapa kasus yang langka terjadi, Amin mengatakan, ada kemungkinan vaksin bisa mengganggu sel karena antibodi salah mengenali jika ada kemiripan antara bibit penyakit yang dilemahkan dan beberapa sel tubuh manusia.

Lebih lanjut, Hinky mengungkapkan bahwa ada 20.000 laporan ringan kejadian ikutan pasca imunisasi setelah sekitar 450 juta dosis vaksin disuntikkan di Indonesia dalam kurun tahun 2019-2022. Semua keluhan itu sembuh, baik dengan maupun tanpa perawatan, katanya.

Dia menambahkan, ada 451 laporan berat kejadian ikutan pasca imunisasi tapi "95 persen tidak terkait dengan vaksin yang diberikan. Kebetulan ada penyakit lain yang sudah diderita".

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mengatakan bahwa efek samping serius pasca vaksinasi tergolong "sangat langka" (tautan arsip).

Vaksin dan autisme

Program Imunisasi Nasional, yang menyasar bayi yang baru lahir sampai remaja 18 tahun, memberikan vaksin untuk lebih dari selusin penyakit menular, termasuk imunisasi polio dan campak-rubella atau MR (tautan arsip).

Sementara itu, vaksin Covid-19 tersedia untuk penduduk berusia 6 tahun ke atas (tautan arsip).

Sebuah studi pada tahun 2015 yang dilakukan atas lebih dari 95.000 anak-anak di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa tidak ada kaitan antara vaksin campak-gondongan-rubella (MMR) dengan gangguan spektrum autisme (tautan arsip).

Hanya vaksin MMR yang mengunakan galur virus gondong Urabe, Leningrad-3, dan Leningrad-Zagreb yang dikaitkan dengan peningkatan risiko meningitis aseptik (tautan arsip).

Namun, berdasarkan asesmen WHO, pasien dari semua kasus meningitis yang berasal dari galur vaksin gondong telah pulih dan manfaat vaksin MMR lebih banyak dari risikonya.

Sementara itu, ada sejumlah laporan meningitis aseptik pasca vaksinasi Covid-19 dengan vaksin Pfizer/BioNTech di beberapa negara seperti Jepang, Singapura, Korea Selatan dan Jerman pada tahun 2021 (tautan arsip).

Namun, laporan menyatakan bahwa penyebab kasus meningitis tersebut belum jelas dan semua pasien telah pulih.

Polio

Meski vaksinasi bisa menurunkan angka kasus polio secara drastis, penyakit lain bernama polio turunan vaksin mungkin terjadi di lingkungan dengan angka imunisasi rendah (tautan arsip).

Penyakit polio turunan vaksin biasanya menyebar ketika virus yang telah dilemahkan di dalam vaksin dikeluarkan oleh orang yang diimunisasi, lalu ditularkan ke orang lain lewat air atau makanan yang terkontaminasi.

Meskipun penyebaran virus vaksin yang dilemahkan bisa saja secara pasif mengimunisasi orang lain, dalam kasus yang langka, virus bisa bermutasi dan menyebabkan kelumpuhan seperti virus polio liar.

"Saat virus terus menyebar ke anak-anak yang belum divaksinasi, ia mengalami sedikit perubahan genetik. Dalam kasus yang sangat langka, ini mungkin menyebabkan virus yang telah dilemahkan berubah ke varian yang bisa menyebabkan kelumpuhan," jelas Inisiatif Pemberantasan Polio Global (tautan arsip).

"Jika wabahnya terjadi, cara menghentikannya sama, yakni dengan program vaksinasi yang memberikan kekebalan terhadap anak-anak dari semua varian polio."

Sebuah studi yang terbit di Journal of Autoimmunity di tahun 2022 membicarakan 928 laporan penyakit autoimun dan autoinflamasi setelah vaksinasi Covid-19 di seluruh dunia (tautan arsip).

Studi tersebut menyebut "ada kemungkinan kaitan antara vaksinasi Covid-19 dan penyakita autoimun dan autoinflamasi," tapi diperlukan penelitian lebih lanjut.

"Kejadian langka ini jangan sampai menghalangi penggunaan vaksinasi ini dan vaksinasi penting lainnya," lanjutnya.

Adakah konten yang Anda ingin AFP periksa faktanya?

Hubungi kami