Belum ada kesepakatan yang menetapkan klorokuin sebagai obat COVID-19
- Artikel ini berusia lebih dari setahun.
- Diterbitkan pada hari Kamis 26/03/2020 pukul 08:00
- Waktu baca 2 menit
- Oleh: Mayowa TIJANI, AFP Nigeria, AFP Indonesia
Hak Cipta © AFP 2017-2025. Segala jenis penggunaan konten secara komersial harus melalui langganan. Klik di sini untuk lebih lanjut.
Salah satu unggahan tersebut dibagikan di status Facebook ini pada tanggal 21 Maret 2020.
Status itu berisi dua gambar yang menunjukkan obat klorokuin, dan dua video yang masing-masing menunjukkan cuplikan tayangan berita dan pidato presiden Joko Widodo. Unggahan Facebook itu telah dibagikan lebih dari 2.700 kali.
Berikut tangkapan layar unggahan menyesatkan itu:
Status Facebook itu tertulis:
“Alkhamdulillah' ya Allah ..
Obat untuk untuk virus Corona sudah ditemukan dan sudah ada di Indonesia sejak lama..
Smoga secepatnya wabah penyakit ini segera berakhir di Indonesia ?.
Dan berbahagia menyambut bulan suci Ramadan Thun ini ??☺️☺️???
#Kabar_Baikk
#jangan_Panikk”.
Wabah virus corona jenis baru yang tengah melanda lebih dari 150 negara dan teritori di dunia telah membunuh 58 orang dan menginfeksi 790 orang di Indonesia, berikut pengumuman pemerintah pada tanggal 25 Maret 2020.
Pada tanggal 20 Maret 2020, Presiden Jokowi mengumumkan pemerintah sudah memesan obat-obatan, termasuk 3 juta klorokuin, untuk menangani pasien COVID-19.
Status dengan klaim yang sama juga diunggah di Facebook di sini, di sini dan di sini.
Klaim yang sama juga dipublikasikan di berita ini dan blog di sini.
Klaim tersebut menyesatkan: meskipun sebuah penelitian menemukan ada “khasiat nyata” pada molekul obat dalam penanganan virus corona baru, uji klinik masih terus dilakukan.
Obat antimalaria, klorokuin, telah dilarang di Nigeria sejak tahun 2005 menyusul rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang memperingatkan akan tingginya angka kegagalan dan resistensi obat di beberapa negara. Klorokuin masih terus digunakan di Afrika Selatan namun bukan sebagai obat utama pada penanganan penyakit malaria karena tingginya resistensi obat.
Kantor berita Tiongkok, Xinhua, melaporkan pada tanggal 17 Februari 2020: “Ahli kesehatan Tiongkok, berdasarkan hasil uji klinik, mengonfirmasi klorokuin fosfat ... memiliki efek penyembuhan tertentu pada penyakit virus corona baru.”
Uji klinik ini sedang dilakukan terhadap “lebih dari 100 orang”, menurut Sun Yanrong, wakil ketua Pusat Pengembangan Bioteknologi Nasional Tiongkok, di bawah Kementerian Sains dan Teknologi.
Uji klinik adalah proses pengujian khasiat obat pada manusia dan dilakukan dalam empat tahapan yang detailnya bisa dibaca di website WHO ini.
Gambaran singkat temuan tersebut dipublikasikan oleh jurnal Jepang, BioScience Trends, dan menjelaskan detail tentang bagaimana uji klinis itu dijalankan.
Dalam sebuah konferensi pers pada tanggal 20 Februari 2020, Janet Diaz, kepala bagian perawatan klinis di Program Kedaruratan WHO, mengatakan bahwa “untuk klorokuin, tidak ada bukti bahwa obat itu adalah pengobatan yang efektif saat ini”.
Pada saat tulisan ini dibuat, WHO menyatakan “hingga saat ini, tidak ada vaksin dan tidak ada obat antivirus spesifik untuk mencegah atau mengobati COVID-2019”.
Jokowi juga menjelaskan bahwa klorokuin “bukan obat utama tetapi obat lapisan kedua karena memang obat Covid-19 ini belum ada dan juga belum ada antivirusnya.” Kementerian Kesehatan juga meminta masyarakat untuk tidak memborong obat klorokuin dan memperingatkan, sebagai obat keras, penggunaannya harus dengan resep dokter.
Seorang pria di Arizona, negara bagian Amerika Serikat, meninggal dan istrinya dalam kondisi kritis setelah keduanya berusaha mengobati sendiri penyakit virus corona, demikian laporan CNN pada tanggal 23 Maret 2020 ini.
AFP sebelumnya memverifikasi klaim lain tentang kemampuan obat klorokuin dalam mengobati penyakit virus corona baru.
Adakah konten yang Anda ingin AFP periksa faktanya?
Hubungi kami