
Pakar kesehatan sanggah klaim Presiden Trump tentang hubungan paracetamol dengan autisme
- Diterbitkan pada hari 10/10/2025 pukul 12:28
- Waktu baca 5 menit
- Oleh: AFP Prancis, AFP Amerika Serikat
- Terjemahan dan adaptasi AFP Indonesia
Hak Cipta © AFP 2017-2025. Segala jenis penggunaan konten secara komersial harus melalui langganan. Klik di sini untuk lebih lanjut.
"Tyenol = Paracetamol dan asetaminofen saat ini banyak dijual di Pasaran, jika ibu hamil minum ini.....ternyata merupakan salah satu penyebab gangguan autis pada anak," tulis sebagian keterangan unggahan Facebook bertanggal 22 September 2025.
Klaim ini selaras dengan pernyataan Presiden Trump pada konferensi pers di hari yang sama (tautan arsip).
"[Penggunaan] Asetaminofen -- yang pada dasarnya dikenal sebagai Tylenol -- selama kehamilan dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko autisme," kata Trump di Gedung Putih, Washington DC.
"Jadi mengonsumsi Tylenol itu tidak baik," tambahnya.

Tylenol adalah salah satu nama merek dagang untuk obat generik asetaminofen, atau obat pereda demam dan nyeri, yang lebih sering disebut paracetamol atau parasetamol di Indonesia (tautan arsip).
Banyak postingan media sosial dalam bahasa Inggris di Instagram, TikTok dan X yang merayakan pernyataan Trump itu. Beberapa komentar tampak memberikan pujian kepada kepemimpinan Trump karena akhirnya mengakui "bukti-bukti yang telah lama disembunyikan."
Sebelumnya, Sekretaris Trump di bidang Layanan Kesehatan dan Kemanusiaan, Robert F. Kennedy Jr., telah berjanji akan mengumumkan penyebab autisme pada bulan September (tautan arsip). Hal ini membuat khawatir para ahli kesehatan karena di masa lalu Kennedy juga sering membagikan misinformasi yang menghubungkan vaksin dengan autisme (tautan arsip).
Dalam konferensi pers itu, dengan didampingi Kennedy dan pejabat tinggi medis AS lainnya, Trump berkali-kali menyebut penggunaan Tylenol di masa kehamilan, dan juga mengklaim bahwa tidak ada kasus autisme di kelompok seperti komunitas tradisional Kristen Amish karena kelompok ini menolak penggunaan paracetamol dan vaksin.
Namun, ahli kesehatan mengatakan pada AFP bahwa pernyataan Trump tentang komunitas Amish itu tidak benar karena faktanya tetap ditemukan kasus autisme di kelompok ini, meskipun mungkin kurang terdiagnosis karena penolakan mereka terhadap sebagian besar pengobatan modern.
Dalam pernyataan resmi tertanggal 24 September, Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga menyanggah klaim Trump tentang asetaminofen, dengan menyebut "tidak ada hubungan yang konsisten" antara autisme dan penggunaan obat tersebut selama masa kehamilan (tautan arsip).
Semua otoritas kesehatan di Kanada, Uni Eropa dan Inggris Raya juga memberikan pernyataan serupa yang menegaskan tidak ada bukti konklusif yang menunjukkan bahwa jika asetaminofen dikonsumsi ibu hamil sesuai petunjuk maka akan meningkatkan risiko autisme pada janin (tautan arsip di sini, sini dan sini).
Sebagian besar dari mereka juga menjelaskan bahwa asetaminofen tetap menjadi cara yang lebih aman untuk mengatasi demam dan nyeri selama kehamilan, karena obat-obatan lain seperti aspirin dan ibuprofen terbukti berisiko jika dikonsumsi saat ibu mengandung.
Para peneliti autisme telah memperingatkan bahwa komentar Trump kemungkinan akan menimbulkan ketakutan yang tidak perlu di kalangan orang tua dan semakin menstigmatisasi orang-orang dengan gangguan spektrum autisme.
"Hubungan antara asetaminofen dan autisme didasarkan pada ilmu pengetahuan yang terbatas, saling bertentangan, dan tidak konsisten dan masih prematur," kata Kepala Pejabat Sains di Autism Science Foundation, Alycia Halladay, dalam sebuah siaran pers pada tanggal 22 September (tautan arsip).
Tidak ada bukti
Siaran pers dari Departemen Kesehatan dan Layanan Masyarakat AS (HHS) dan saran ahli kesehatan dari Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) yang dikeluarkan setelah konferensi pers Trump menyarankan masyarakat untuk berhati-hati namun dengan bahasa yang jauh lebih terukur daripada pernyataan Trump tentang asetominofen dan kehamilan (tautan arsip di sini dan sini).
Meskipun HHS menyatakan "akan menindaklanjuti" "studi klinis dan laboratorium yang sebelumnya menunjukkan potensi hubungan antara penggunaan asetaminofen selama kehamilan," catatan dari FDA menyatakan "para dokter harus mempertimbangkan untuk meminimalkan" rekomendasi obat tersebut kepada ibu hamil. Kedua dokumen tersebut tidak menyatakan bahwa obat tersebut tidak boleh direkomendasikan kepada seseorang yang sedang hamil.
Sejumlah ahli kesehatan mengatakan pada AFP bahwa penelitian yang dilakukan terhadap potensi hubungan antara autisme dan asetaminofen selama kehamilan tidak memberikan cukup bukti untuk menetapkan adanya hubungan sebab akibat di antara keduanya (tautan arsip).
Monique Botha, seorang psikolog dari Universitas Durham yang mempelajari tentang autisme, mengatakan kepada AFP bahwa “data paling kuat yang kita miliki hingga saat ini” adalah studi tahun 2024 yang menilai prevalensi autisme pada 2,5 juta anak Swedia, yang diterbitkan dalam Journal of the American Medical Association (tautan arsip di sini dan sini).
Bertentangan dengan klaim Trump, studi tersebut menyimpulkan bahwa "penggunaan asetaminofen selama kehamilan tidak terkait dengan risiko autisme, ADHD, atau disabilitas intelektual pada anak."
Saran untuk mengonsultasikan penggunaan asetaminofen selama masa kehamilan bukanlah hal yang baru. Pada tahun 2021, sekelompok ahli yang meninjau data dari berbagai penelitian tentang efek samping penggunaan obat tersebut menyimpulkan bahwa wanita hamil harus diberi informasi bahwa asetaminofen sebaiknya dihindari kecuali memang penggunaannya dibutuhkan secara medis (tautan arsip).
Rod Mitchell, salah seorang peneliti di studi tersebut yang juga seorang profesor di bidang endokrinologi anak dan remaja di Universitas Edinburgh, menyampaikan kepada AFP bahwa "parasetamol dapat memengaruhi perkembangan janin, dan khususnya reproduksi serta kesuburan di masa depan" (tautan arsip). Namun ia juga menjelaskan bahwa potensi risikonya belum ditetapkan secara jelas.
Dia mengatakan: "Secara keseluruhan, bukti yang tersedia tidak menunjukkan bahwa parasetamol menyebabkan autisme."

Bukti yang saling bertentangan
Para petinggi di pemerintahan Trump sering mengutip sebuah dokumen terbitan tahun 2025 yang mengumpulkan hasil 40 penelitian dan menyimpulkan bahwa ada hubungan antara konsumsi asetaminofen selama masa kehamilan dan autisme (tautan arsip di sini dan sini).
Monique Botha, psikolog dari Universitas Durham, mengatakan bahwa dokumen tersebut meliputi banyak penelitian lama yang memiliki kelemahan metodologis, misalnya tidak mempertimbangkan apakah orang tua anak-anak tersebut autis. Ini menjadi bagian yang sangat penting mengingat faktor genetik juga memengaruhi risiko anak mengalami autisme (tautan arsip).
Merespon pernyataan Gedung Putih, Koalisi Ilmuwan Autisme juga menyatakan bahwa makalah tersebut tidak memperhitungkan bahwa demam selama masa kehamilan -- yang sering diobati dengan asetaminofen -- juga dapat meningkatkan risiko autisme (tautan arsip).
Steven Kapp, seorang anggota koalisi tersebut dan dosen psikologi senior di Universitas Portsmouth mengatakan kepada Science Media Center bahwa penelitian yang mengklaim ada hubungan antara asetaminofen dan autisme "tidak membedakan antara korelasi dan hubungan kausalitas" (tautan arsip di sini, sini dan sini).
Dalam catatannya, FDA menyampaikan bahwa "meskipun hubungan antara asetaminofen dan autisme telah dijelaskan dalam banyak penelitian, hubungan kausalitas belum dapat dipastikan dan terdapat penelitian yang bertentangan dalam literatur ilmiah."
Seperti kebanyakan obat-obatan lainnya, terdapat risiko overdosis jika asetaminofen dikonsumsi dalam jumlah banyak (tautan arsip). Para dokter juga merekomendasikan ibu hamil untuk mencari nasihat medis untuk mengetahui kapan dan berapa banyak dosis yang dikonsumsi selama kehamilan (tautan arsip).
Adakah konten yang Anda ingin AFP periksa faktanya?
Hubungi kami